My Blog
Rabu, 16 Maret 2016
Guru Zen di Gerbang Kota
Dikisahkan ada seorang Guru Zen yang bijaksana duduk bermain catur dengan seorang petani di dekat gerbang kota, lalu datanglah seseorang bertampang arogan sambil menaiki kudanya, orang itu akan pindah ke kota itu dengan tujuan mencari kebahagian dan kedamaian disana karena dia merasa tidak bahagia dan tidak menyukai orang-orang di kota asalnya.
Kemudian dia bertanya kepada Guru,
"Guru apakah tipe orang-orang yang ada dikota itu?"
Guru balik bertanya :
"Apa tipe orang-orang di kota yang baru saja kau tinggalkan?"
"Wah orangnya kurang pergaulan semua, tidak menyenangkan, individual, pokoknya tidak ada yang baik disana.!" orang itu berkata.
"Dengan menyesal saya sampaikan bahwa kota dihadapanmu pun penuh dengan orang-orang yang kau sebutkan tadi!" jawab Guru.
"Terima kasih Guru, untung aku belum keburu masuk ke kota itu, sudah kuduga!" orang itu berkata sambil berlalu, ia tidak jadi masuk kedalam kota.
Tak lama datang seseorang pemuda dengan mengendarai keledai, ia pun bertanya kepada Guru Itu, "Guru, apa tipe orang-orang dikota ini?"
Guru Zen balik bertanya pertanyaan yang sama : "Apa tipe orang-orang di kota yang baru saja kau tinggalkan ?"
"Semua orang di kotaku baik, ramah, dan sangat setia kawan, aku sebenarnya berat meninggalkan mereka, namun karena harus mengembangkan bisnis terpaksa harus pindah guru !" jawab pemuda itu.
"Wah dikota inipun banyak orang yang seperti kau sebutkan tadi, silahkan masuk anak muda, kembangkan bisnismu!" jawab guru Zen.
Si petani yang sejak tadi memperhatikan merasa bingung, kenapa untuk pertanyaan yang sama guru memberikan jawaban yang berbeda.
Guru menerangkan bahwa:
" Pada dasarnya sifat manusia itu berbeda-beda, jika ia sudah membawa pemikiran yang tidak baik maka selamanya pemikiran yang tidak baik itu mengikutinya kemanapun bagaikan roda pedati yang mengikuti kaki lembu si penariknya, jika pikiran terlatih dengan baik maka kemanapun ia pergi, ia akan selalu menjaga sikapnya dengan pemikiran yang baik itu".
-----------------------------------
"Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu.
Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu.
Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu.
Jagalah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu.
Jagalah karaktermu, karena akan membentuk nasibmu.
Jadi nasib mu berawal dari pikiran mu...
(⭐️Dalai Lama 14 tenzin Gyatso⭐️)
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
Pikiran adalah pemimpin,
Pikiran adalah pembentuk,
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagian akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.
(⭐️Dhammapada syair 2⭐️)
Semoga kita semua maju di dalam Dhamma, selalu sehat dan bahagia. Semoga semua makhluk hidup berbahagia. ___
Apa Itu Kehidupan?
Apa itu Kehidupan?
Sekitar dua belas tahun yang lalu, saya diperkenalkan dengan seorang penarik becak di Calcuta. Namanya Ramchandra. Ramchandra sangat miskin dan menderita TBC. Harapan para penarik becak hanya berkisar antara sepuluh hingga dua belas tahun sejak ia menarik becak.
Pada waktu itu ada sekelompok kecil orang yang mengerjakan aktivitas ilegal, yakni mengekspor kerangka manusia. Pemerintah pada akhirnya menangkap mereka.
Namun, tahukah anda apa yang biasanya mereka lakukan? Mereka membeli kerangka anda semasa anda masih hidup. Jika anda sangat miskin, anda akan datang ke mereka dan menjual kerangka anda seharga sekitar $10.
Orang2 ini akan bertanya kepada para penarik becak, "Sudah berapa lama kamu bekerja di jalanan? Orang seperti Ramchandra akan menjawab, "Sepuluh tahun"
Dan para pembeli ini akan berpikir: Hidupnya tidak akan lama lagi. "Baiklah, ini uangmu."
Lalu, ketika penarik becak meninggal, mereka akan mengambil tubuhnya, dan kemudian mengambil kerangkanya dengan menggunakan proses tertentu.
Ramchandra telah menjual kerangkanya, karena betapa miskinnya dia. Ia punya istri dan anak-anak, dan ia menyandang kemelaratan, kemiskinan, penderitaan, serta ketidak-pastian.
Anda tidak akan pernah berpikir bahwa disitu ada kebahagiaan, bukan?
Namun tampaknya tidak ada yang mengganggunya. Ia sepenuhnya baik-baik saja. Tidak ada yang membuatnya kecewa atau sedih.
Saya bertanya kepadanya, "Tidakkah kamu kecewa atau sedih?"
Ia menjawab, "Karena apa?"
"Tahu sendirilah, masa depanmu, masa depan anak-anakmu."
Ia berkata, "Yah, saya melakukan yang terbaik semampu saya, selebihnya ada di tangan Tuhan."
"Tapi, bagaimana dengan penyakitmu? Itu menyebabkan penderitaan bukan?"
Ia menjawab, "Sedikit. Kita harus menerima hidup sebagaimana adanya."
Saya tidak pernah melihat sikap hatinya buruk. Namun, sewaktu saya bicara dengan orang ini, tiba-tiba saya sadar bahwa saya berhadapan dengan seorang mistikus. Saya tiba-tiba sadar bahwa saya berhadapan dengan hidup. Dia ada disana. Ia hidup dan saya mati.
Ia tidak sekejap pun cemas dengan masa depannya. Ia persis berada disini.
Saya tahu bahwa penarik becak itu sudah meninggal saat ini. Tetapi saya tahu bahwa saya telah bertemu dengan seorang mistikus. Pribadi yang luar biasa yang telah menemukan kehidupan.
Bantuan dari luar boleh saja; ia tidak membutuhkan bantuan dari luar untuk hidup. Ia membutuhkan bantuan untuk kenyamanan, ia membutuhkannya untuk kesehatan, bukan untuk hidup.
Mungkin ia membutuhkannya untuk hidup lebih lama, yang berarti eksistensinya lebih panjang. Tapi apakah itu berarti kehidupan?
Ramchandra telah hidup, ia mengetahui apa itu hidup. Ia mengetahui apa itu hidup. Ia bahagia.
Ramchandra hidup bagaikan seorang raja. Banyak orang beranggapan bahwa hidup bagaikan seorang raja adalah berpergian dengan limousin, semua orang membungkuk dan mengjormati mereka. Nama mereka muncul di headline media massa. Mereka pikir itulah hidup bagaikan raja.
Menurut saya, mereka tidak hidup bagaikan raja, mereka adalah budak-budak. Mereka ketakutan. Lihat wajah mereka di televisi, anda akan menyadarinya bahwa mereka ketakutan. Ketakutan karena gelisah, mereka menginginkan kekuasaan, mereka menginginkan prestise, dan reputasi. Mereka tidak hidup. Mereka tidak hidup bagaikan raja.
Hidup bagaikan raja berarti hidup tanpa kegelisahan sama sekali. Tidak ada konflik internal sama sekali. Tidak ada ketegangan, tidak ada tekanan, tidak ada kekecewaan, tidak ada sakit hati. Yang ada pada anda hanya kebahagiaan, yang murni tidak terkontaminasi.
Sumber: "Rediscovering Life" - Anthony De Mello
Rabu, 18 Maret 2015
ANATHAPINDIKA DAN DANA
Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana (Hutan Jeta) milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.
Anathapindika menemui Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya. Tetapi akhirnya mereka sepakat bahwa tanah tersebut dapat dibeli dengan harga sebanyak koin emas yang dapat menutup tanah itu.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia menghadiahkan bagian tanah tersebut dan akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri.
Anathapindika kemudian membangun kuti2, ruang pertemuan, ruang makan, jalan, sumur, dan kolam serta dinding besar di sekeliling tempat itu.
Untuk menghormati keduanya, tempat ini disebut dengan dua nama: "Hutan Jeta" atau "Jetavana" dan "Vihara Anathapindika".


Foto Kiri: Atas dan Bawah: Sisa Reruntuhan Rumah Anathapindika
Foto Kanan : Ruang penyimpanan uang di rumah Anathapindika
Foto Bawah: Gandha Kuti (Tempat tinggal Buddha) di Vihara Anathapindika di Jetavana
Setelah membangun vihara, Anathapindika terus menyokong Sangha yang
tinggal menetap. Setiap pagi ia mengirim nasi susu, dan ia menyediakan
semua keperluan sangha seperti jubah, mangkuk pindapata, dan
obat-obatan. Selain itu beberapa ratus bhikkhu datang setiap hari ke
rumahnya untuk menerima santap siang.
Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari.
Suatu hari, pelayannya melaporkan bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota untuk kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu.
Raja merasa aneh karena ia selalu menyediakan makanan yang mewah dan lezat, maka ia pun bertanya kepada Buddha alasan perilaku para bhikkhu.
Buddha menjelaskan kepada raja bahwa para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan.
Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja.
Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya, walaupun santapannya terdiri dari makanan lezat.
Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk.
Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan lezat yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar.
Sumber: "Great Disciples of the Buddha" By Nyanaponika Thera - Hellmuth Hecker
Alih Bahasa : Sanjaya, ST
Vidyasena - Yogyakarta
Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana (Hutan Jeta) milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.
Anathapindika menemui Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya. Tetapi akhirnya mereka sepakat bahwa tanah tersebut dapat dibeli dengan harga sebanyak koin emas yang dapat menutup tanah itu.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia menghadiahkan bagian tanah tersebut dan akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri.
Anathapindika kemudian membangun kuti2, ruang pertemuan, ruang makan, jalan, sumur, dan kolam serta dinding besar di sekeliling tempat itu.
Untuk menghormati keduanya, tempat ini disebut dengan dua nama: "Hutan Jeta" atau "Jetavana" dan "Vihara Anathapindika".
Foto Kiri: Atas dan Bawah: Sisa Reruntuhan Rumah Anathapindika
Foto Kanan : Ruang penyimpanan uang di rumah Anathapindika
Foto Bawah: Gandha Kuti (Tempat tinggal Buddha) di Vihara Anathapindika di Jetavana
Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari.
Suatu hari, pelayannya melaporkan bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota untuk kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu.
Raja merasa aneh karena ia selalu menyediakan makanan yang mewah dan lezat, maka ia pun bertanya kepada Buddha alasan perilaku para bhikkhu.
Buddha menjelaskan kepada raja bahwa para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan.
Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja.
Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya, walaupun santapannya terdiri dari makanan lezat.
Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk.
Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan lezat yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar.
Sumber: "Great Disciples of the Buddha" By Nyanaponika Thera - Hellmuth Hecker
Alih Bahasa : Sanjaya, ST
Vidyasena - Yogyakarta
Selasa, 17 Maret 2015
SURGA DAN NERAKA
Orang yang taat menjalankan sila, mencintai semua makhluk, berbakti kepada orang tua, rukun dalam rumah tangga, ringan tangan membantu yang membutuhkan pertolongan, selalu mensyukuri apa yang dia dapat. Maka dia sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Keluarga yang saling mencintai dan menghormati, bertanggung jawab sebagai ortang tua. Anak2 berbakti dan memberi kasih sayang kepada orang tua. Kakak dan adik saling menghargai dan membantu. Maka keluarga ini sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Sebaliknya, orang yang tidak bermoral, tidak menjalankan sila, serakah, penuh dengan kebencian, suka berjudi, mabuk, maka ia hidup di 'neraka' atau sedang menciptakan 'neraka' untuk masa depannya.
Keluarga yang dilanda ribut dan perceraian, tidak peduli dan menghargai pasangannya maupun kepada anak2nya, anak2 terjangkit narkoba, tidak hormat kepada orang tuanya, maka dapat dikatakan bahwa keluarga ini hidup dalam alam 'neraka'
Buddha mengatakan bahwa surga dan neraka tidak ada dimana-mana, hanya ada di dalam diri kita sendiri. Manusia sendirilah yang mampu menciptakan 'surga' atau 'neraka' dalam hidupnya.
Kalau kita tidak mampu menciptakan 'surga' di dunia ini, bagaimana pula bisa masuk ke alam surga yang sesungguhnya?
Sumber: "The Ancient Chinese Wisdom" - Andri Wang
Orang yang taat menjalankan sila, mencintai semua makhluk, berbakti kepada orang tua, rukun dalam rumah tangga, ringan tangan membantu yang membutuhkan pertolongan, selalu mensyukuri apa yang dia dapat. Maka dia sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Keluarga yang saling mencintai dan menghormati, bertanggung jawab sebagai ortang tua. Anak2 berbakti dan memberi kasih sayang kepada orang tua. Kakak dan adik saling menghargai dan membantu. Maka keluarga ini sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Sebaliknya, orang yang tidak bermoral, tidak menjalankan sila, serakah, penuh dengan kebencian, suka berjudi, mabuk, maka ia hidup di 'neraka' atau sedang menciptakan 'neraka' untuk masa depannya.
Keluarga yang dilanda ribut dan perceraian, tidak peduli dan menghargai pasangannya maupun kepada anak2nya, anak2 terjangkit narkoba, tidak hormat kepada orang tuanya, maka dapat dikatakan bahwa keluarga ini hidup dalam alam 'neraka'
Buddha mengatakan bahwa surga dan neraka tidak ada dimana-mana, hanya ada di dalam diri kita sendiri. Manusia sendirilah yang mampu menciptakan 'surga' atau 'neraka' dalam hidupnya.
Kalau kita tidak mampu menciptakan 'surga' di dunia ini, bagaimana pula bisa masuk ke alam surga yang sesungguhnya?
Sumber: "The Ancient Chinese Wisdom" - Andri Wang
Kamis, 21 November 2013
Percobaan
Ini adalah blog saya yang pertama, pertama kali nulis di blog, jadi harus dilakukan percobaan dulu yah.
Saya Setiawan, kelahiran Bogor yang tinggal di Bandung, sekarang bekerja di Jakarta
salam,
Setiawan
Saya Setiawan, kelahiran Bogor yang tinggal di Bandung, sekarang bekerja di Jakarta
salam,
Setiawan
Langganan:
Postingan (Atom)