ANATHAPINDIKA DAN DANA
Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana (Hutan Jeta) milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.
Anathapindika menemui Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya. Tetapi akhirnya mereka sepakat bahwa tanah tersebut dapat dibeli dengan harga sebanyak koin emas yang dapat menutup tanah itu.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia menghadiahkan bagian tanah tersebut dan akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri.
Anathapindika kemudian membangun kuti2, ruang pertemuan, ruang makan, jalan, sumur, dan kolam serta dinding besar di sekeliling tempat itu.
Untuk menghormati keduanya, tempat ini disebut dengan dua nama: "Hutan Jeta" atau "Jetavana" dan "Vihara Anathapindika".


Foto Kiri: Atas dan Bawah: Sisa Reruntuhan Rumah Anathapindika
Foto Kanan : Ruang penyimpanan uang di rumah Anathapindika
Foto Bawah: Gandha Kuti (Tempat tinggal Buddha) di Vihara Anathapindika di Jetavana
Setelah membangun vihara, Anathapindika terus menyokong Sangha yang
tinggal menetap. Setiap pagi ia mengirim nasi susu, dan ia menyediakan
semua keperluan sangha seperti jubah, mangkuk pindapata, dan
obat-obatan. Selain itu beberapa ratus bhikkhu datang setiap hari ke
rumahnya untuk menerima santap siang.
Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari.
Suatu hari, pelayannya melaporkan bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota untuk kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu.
Raja merasa aneh karena ia selalu menyediakan makanan yang mewah dan lezat, maka ia pun bertanya kepada Buddha alasan perilaku para bhikkhu.
Buddha menjelaskan kepada raja bahwa para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan.
Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja.
Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya, walaupun santapannya terdiri dari makanan lezat.
Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk.
Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan lezat yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar.
Sumber: "Great Disciples of the Buddha" By Nyanaponika Thera - Hellmuth Hecker
Alih Bahasa : Sanjaya, ST
Vidyasena - Yogyakarta
Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana (Hutan Jeta) milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.
Anathapindika menemui Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya. Tetapi akhirnya mereka sepakat bahwa tanah tersebut dapat dibeli dengan harga sebanyak koin emas yang dapat menutup tanah itu.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia menghadiahkan bagian tanah tersebut dan akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri.
Anathapindika kemudian membangun kuti2, ruang pertemuan, ruang makan, jalan, sumur, dan kolam serta dinding besar di sekeliling tempat itu.
Untuk menghormati keduanya, tempat ini disebut dengan dua nama: "Hutan Jeta" atau "Jetavana" dan "Vihara Anathapindika".
Foto Kiri: Atas dan Bawah: Sisa Reruntuhan Rumah Anathapindika
Foto Kanan : Ruang penyimpanan uang di rumah Anathapindika
Foto Bawah: Gandha Kuti (Tempat tinggal Buddha) di Vihara Anathapindika di Jetavana
Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari.
Suatu hari, pelayannya melaporkan bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota untuk kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu.
Raja merasa aneh karena ia selalu menyediakan makanan yang mewah dan lezat, maka ia pun bertanya kepada Buddha alasan perilaku para bhikkhu.
Buddha menjelaskan kepada raja bahwa para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan.
Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja.
Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya, walaupun santapannya terdiri dari makanan lezat.
Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk.
Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan lezat yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar.
Sumber: "Great Disciples of the Buddha" By Nyanaponika Thera - Hellmuth Hecker
Alih Bahasa : Sanjaya, ST
Vidyasena - Yogyakarta