Rabu, 18 Maret 2015

ANATHAPINDIKA DAN DANA

Anathapindika bertanya kepada Sang Buddha apakah ia boleh membangun sebuah vihara bagi Sangha di kampung halamannya, Savatthi. Sang Buddha menjawab: “Yang Tercerahkan menyukai tempat yang tenang.”
“Saya mengerti, O Guru, saya mengerti,” jawab Anathapindika, yang bersuka cita karena persembahannya diterima.
Sesampainya di Savatthi, ia langsung mencari lokasi yang sesuai untuk vihara. Tempatnya tidak boleh terlalu dekat maupun terlalu jauh dari kota; tidak boleh ramai di pagi hari maupun berisik di malam hari; harus mudah dicapai para umat awam sekaligus cocok untuk hidup bertapa. Akhirnya, di perbukitan yang mengelilingi kota, ia menemukan sebuah tempat terbuka di tengah hutan, tempat yang ideal untuk tujuannya. Tempat ini adalah Jetavana (Hutan Jeta) milik Pangeran Jeta, anak Raja Pasenadi.

Anathapindika menemui Pangeran Jeta di istananya dan bertanya apakah hutan itu dijual. Pangeran menjawab bahwa ia tidak akan menjualnya. Tetapi akhirnya mereka sepakat bahwa tanah tersebut dapat dibeli dengan harga sebanyak koin emas yang dapat menutup tanah itu.
Anathapindika membawa banyak gerobak penuh koin emas dan menyebarnya di tanah. Akhirnya hanya tinggal tanah di daerah masuk yang belum terisi. Ia memberi instruksi agar lebih banyak lagi koin emas dibawa, tetapi Pangeran Jeta mengumumkan bahwa ia menghadiahkan bagian tanah tersebut dan akan membangun sebuah gerbang dan menara di situ dengan uangnya sendiri.

Anathapindika kemudian membangun kuti2, ruang pertemuan, ruang makan, jalan, sumur, dan kolam serta dinding besar di sekeliling tempat itu.
Untuk menghormati keduanya, tempat ini disebut dengan dua nama: "Hutan Jeta" atau "Jetavana" dan "Vihara Anathapindika".















Foto Kiri: Atas dan Bawah: Sisa Reruntuhan Rumah Anathapindika
Foto Kanan : Ruang penyimpanan uang di rumah Anathapindika


Foto Bawah: Gandha Kuti (Tempat tinggal Buddha) di Vihara Anathapindika di Jetavana

Setelah membangun vihara, Anathapindika terus menyokong Sangha yang tinggal menetap. Setiap pagi ia mengirim nasi susu, dan ia menyediakan semua keperluan sangha seperti jubah, mangkuk pindapata, dan obat-obatan. Selain itu beberapa ratus bhikkhu datang setiap hari ke rumahnya untuk menerima santap siang.

Ketika Raja Pasenadi mengetahui kedermawanan Anathapindika, ia juga ingin menirunya, sehingga ia menyediakan makanan untuk lima ratus bhikkhu setiap hari.
Suatu hari, pelayannya melaporkan bahwa para bhikkhu membawa makanan yang diberikannya dan memberikan kepada para penyokong di kota untuk kemudian memberikannya kembali kepada para bhikkhu.
Raja merasa aneh karena ia selalu menyediakan makanan yang mewah dan lezat, maka ia pun bertanya kepada Buddha alasan perilaku para bhikkhu.
Buddha menjelaskan kepada raja bahwa para anggota kerajaan membagikan makanan tanpa perasaan, hanya mengikuti perintah seperti ketika mereka membersihkan gudang atau membawa pencuri ke pengadilan.
Mereka tidak mempunyai keyakinan dan tidak memiliki cinta kepada para bhikkhu. Bahkan banyak dari mereka yang berpikir bahwa para bhikkhu hanyalah parasit yang hidup dari keringat orang-orang yang bekerja.
Ketika sesuatu diberikan dengan perasaan demikian, tidak seorangpun yang merasa nyaman menerimanya, walaupun santapannya terdiri dari makanan lezat.
Sebaliknya, para perumah-tangga yang penuh pengabdian di kota, seperti Anathapindika dan Visakha, menyambut para bhikkhu dan menganggap mereka sebagai teman spiritual yang hidup demi kesejahteraan dan manfaat semua makhluk.
Sebuah santapan sederhana yang disediakan oleh seorang teman akan lebih berharga daripada santapan lezat yang diberikan oleh seseorang yang memberi tidak dengan semangat yang benar.

Sumber: "Great Disciples of the Buddha" By Nyanaponika Thera - Hellmuth Hecker
Alih Bahasa : Sanjaya, ST
Vidyasena - Yogyakarta


Selasa, 17 Maret 2015

SURGA DAN NERAKA
Orang yang taat menjalankan sila, mencintai semua makhluk, berbakti kepada orang tua, rukun dalam rumah tangga, ringan tangan membantu yang membutuhkan pertolongan, selalu mensyukuri apa yang dia dapat. Maka dia sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Keluarga yang saling mencintai dan menghormati, bertanggung jawab sebagai ortang tua. Anak2 berbakti dan memberi kasih sayang kepada orang tua. Kakak dan adik saling menghargai dan membantu. Maka keluarga ini sudah hidup bahagia di alam 'surga'
Sebaliknya, orang yang tidak bermoral, tidak menjalankan sila, serakah, penuh dengan kebencian, suka berjudi, mabuk, maka ia hidup di 'neraka' atau sedang menciptakan 'neraka' untuk masa depannya.
Keluarga yang dilanda ribut dan perceraian, tidak peduli dan menghargai pasangannya maupun kepada anak2nya, anak2 terjangkit narkoba, tidak hormat kepada orang tuanya, maka dapat dikatakan bahwa keluarga ini hidup dalam alam 'neraka'
Buddha mengatakan bahwa surga dan neraka tidak ada dimana-mana, hanya ada di dalam diri kita sendiri. Manusia sendirilah yang mampu menciptakan 'surga' atau 'neraka' dalam hidupnya.
Kalau kita tidak mampu menciptakan 'surga' di dunia ini, bagaimana pula bisa masuk ke alam surga yang sesungguhnya?
Sumber: "The Ancient Chinese Wisdom" - Andri Wang